Pengembangan Hukum Pemilu Berintegritas
Kata Kunci:
Refleksi, pengembangan, berintegritasAbstrak
Politik hukum pemilu yang hendak mewujudkan pemilu berintegritas lahir dari norma konstitusi, Pasal 23 E ayat (1) dan ayat (5) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1924 (UUD 1945). Asas pemilu jujur, adil, dan KPU yang mandiri menjadi pijakan konstitusional penyelenggaraan pemilu berintegritas, namun Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai kaidah pemilu berintegritas tidak memberikan penjelasan asas-asas hukum pemilu yang diatur dalam konstitusi. Kelembagaan hukum penyelenggaraan pemilu berintegritas melalui sistem pemilu berintegritas melalui KPU, Bawaslu, dan DKPP memiliki kelemahan karena Bawaslu dan DKPP belum diatur dalam konstitusi sebagaimana KPU. Proses hukum pemilu berintegritas juga masih memiliki hambatan karena ketidakseragaman lembaga yang memiliki kewenangan penegak etika antara PPK, PPS, KPPS, PPLN, KPPSLN serta anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS yang tidak diselesaikan oleh DKPP dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang diselesaikan oleh DKPP. Arah pengembangan hukum pemilu berintegritas ke depan hendaknya diarahkan untuk; pertama, memberikan penjelasan makna setiap asas-asas hukum pemilu dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Pemilu. Kedua, DKPP dan Bawaslu hendaknya dipikirkan melalui kajian akademik untuk masuk menjadi bagian dari sistem pelaksanaan pemilu yang diatur juga keberadaan lembaganya dalam konstitusi. Ketiga, hendaknya diarahkan untuk membentuk perwakilan DKPP di daerah yang memiliki kewenangan untuk mengadili dugaan pelanggaran etika oleh oleh PPK, PPS, KPPS, PPLN, KPPSLN serta anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS.